Sebut
saja namaku Tina, sudah setahun lebih ini aku pindah sekolah ke luar negeri,
tepatnya di New York Amerika Serikat. Hidup di New York bersama abang memang
cukup nikmat, paling tidak di sekitar apartemen kami lokasinya aman dan bersahabat,
dan tidak perlu khawatir jika kebetulan aku jalan sendirian di malam hari.
Sekolahku adalah SMA publik, dan murid-muridnya keren-keren, datang dari
berbagai ras.
Hari-hariku
biasanya diisi dengan sekolah, pergi ke tempat-tempat nongkrong anak SMA,
biasanya toko Fast Food, kerja sambilan sebagai pelayan di restoran Oriental
dekat rumahku (yang kadang-kadang juga tempat nongkrong anak-anak seusiaku),
kerja sukarela sebagai pengawas perpustakaan, serta kegiatan ekstrakulikulerku
sebagai anggota klub sepakbola wanita dan kelompok drama. Ada beberapa anak
dari Indonesia juga di SMA-ku, hanya aku jarang bertemu dengan mereka di
sekolah.
Baru-baru
ini kelompok drama sekolahku mengadakan kunjungan wisata ke Ibukota di
Washington DC. Seorang gadis baru bernama Cintya baru saja mengikuti kegiatan
ini.
Aku
sebenarnya sudah beberapa kali melihat Cintya di sekitar sekolah dan sudah lama
merasa cukup iri dengan kakinya yang panjang serta matanya yang tajam dan
seolah selalu penuh gairah. Cintya adalah seorang Latina, sebab kedua
orangtuanya berasal dari Puerto Rico.
Saat
pertama kali kulihat Cintya di sekolah, aku jadi teringat dengan acara-acara TV
minggu siang yang sering disaksikan oleh pembantu dan supir di tempat kostku
dulu di Bandung seperti Maria Mercedes dan sebangsanya.
Nah,
saat perjalanan wisata ke Washington di atas bis dan kebetulan duduk sebangku,
kami berdua segera menjalin persahabatan baru. Bercakap-cakap dengan Cintya
benar-benar menarik sebab dia benar-benar supel dan pintar berbicara.
Di
tengah diskusi mengenai simpatinya terhadap kondisi Indonesia, kusempatkan
diriku untuk mengamati rupa teman baruku. Sepertiku, Cintya berbadan semampai.
Rambut lurus dan alisnya berwarna coklat muda, rambutnya sedikit lebih panjang
dan kulit Cintya jauh lebih pucat dari kulitku yang kuning.
Bibirnya
yang berbentuk mungil berwarna merah muda dengan hanya polesan sedikit lipstik
saja dan bergerak-gerak secara menawan saat Cintya berbicara dengan logat
latinnya yang nikmat didengar.
Seperti
murid-murid keturunan Spanyol lainnya di sekolahku, gaya berpakaian Cintya
benar-benar santai, seperti celana pendek, dan kaos oblong tangan panjang,
namun potongan depannya pendek yang berakhir di atas bagian pusar, sehingga
dadanya yang membusung membuatnya tampil benar-benar feminin dan eksotik. Kaus
kaki Miki Tikus warna putih menutupi sebagian betis Cintya, sepatunya model
santai seperti Converse, dan Cintya mengenakan seuntai kalung perak sebagai
aksesoris.
Sementara
telinganya ditindik tiga dengan giwang-giwang kecil diatur artistik. Namun yang
bikin aku benar-benar seperti terhipnotis adalah tatapan mata biru jernih
Cintya yang menyorot tajam, mengundang, dan benar-benar hidup.
Jika
ada yang mengamati, mungkin kami berdua akan tampak cukup menarik sebab aku
sendiri menjaga penampilanku cukup konservatif walaupun di Indonesia mungkin
lumrah saja melihat gadis remaja delapan belas tahun mengenakan turtle neck,
rompi dan rok selutut dan rambut kuncir kuda.
Tak
lama setelah kami mulai berbicara, hilanglah sudah minatku terhadap kunjungan
wisata ini. Sementara waktu berlalu, kami mulai saling menyentuh tangan atau
kaki satu dengan lainnya saat ingin menekankan apa yang kami bicarakan.
Sentuhan-sentuhan
yang mulanya tanpa niat apapun ini lama-lama mulai menelantarkan diri, sampai
akhirnya, kami mulai berbicara mengenai seks. Kami saling bertukar pengalaman,
dan aku benar-benar terpesona oleh perbedaan kebudayaan dan latar belakang kami
berdua.
Kata
Cintya, dalam masyarakat Hispanik (ras keturunan campuran Spanyol dengan
penduduk asli Amerika) sudahlah menjadi standar bagi remaja mereka untuk
kehilangan keperawanan atau keperjakaan pada umur sekitar 15 tahun.
Setahun
di Amerika, banyak pandangan mengenai seks dan hubungan romantis yang dulu
kupunyai di Indonesia berubah menjadi sedikit lebih santai. Walaupun aku masih
belum sampai sejauh bersanggama, pacarku di sini kadang-kadang menelusuri
bagian-bagian tubuhku yang tadinya kuputuskan ‘off-limit’ bagi pacar.
Biar
bagaimanapun, toh aku masih orang Timur. Di kota seperti New York, walaupun
kebudayaan Barat lebih toleran terhadap hubungan kelamin pranikah, toh umumnya
remaja hanya berhubungan dengan satu pasangan saja sekitar paling tidak enam
bulan, mungkin karena kewaspadaan terhadap penyakit. Mendengar penjelasanku
mengenai norma masyarakat di Indonesia, Cintya mengangguk-angguk, dan
menyatakan bahwa pandangan seperti itu ada baiknya juga.
Dia
pun kemudian mulai bercerita mengenai pengalaman-pengalaman masa lalunya,
sentuhan-sentuhan nyasar kami semakin sering. Kami mulai saling menggoda secara
fisik, dan sebelum bis kami bergulir memasuki batas kota Washington DC setelah
hampir seharian perjalanan, hanya ada satu hal dalam benakku: untuk berhubungan
intim dengan Cintya. Saat memasuki hotel, kami mengatur untuk membagi ruangan
yang sama. Senja itu, kami berkeliling dan melihat tempat-tempat bersejarah
terkenal.
Selesai
mandi dan makan malam, bersama sekelompok dari murid-murid, aku dan Cintya
pergi menyaksikkan sebuah film berjudul “Scream”. Ketika di layar ditunjukkan
sebuah bagian film yang menakutkan, kami berdua saling berpegangan tangan dan
Cintya memelukku erat.
Selesai
bagian tersebut, Cintya meletakkan tanganku ke pahanya yang tak tertutup. Kami
berdua kebetulan memakai rok pendek, dan beberapa menit kemudian Cintya mencoba
merubah sikap duduk dan merenggangkan kakinya, serta membimbing tanganku di
antara kedua kakinya.
Lalu
ia bergerak dan secara perlahan mengusapkan tangannya ke bagian dalam pahaku.
Kulepaskan pekikan kecil ketika Cintya menemukan apa yang diinginkannya.
Sementara kami berpura-pura menonton film, kumain-mainkan rabaanku di celana
dalam bagian depan milik Cintya sampai kubuat dia basah sementara ujung jarinya
bergeser naik dan turun di bagian yang sama dari celana dalam milikku,
mendorong kain yang tipis itu ke dalamku. Tidak mengambil waktu lama sebelum
kami berdua mulai saling mencari satu sama lain.
Kami
mulai bernafas kencang dan berat, dan tak bisa disangkal lagi, di udara
mulailah muncul bau kewanitaan basah yang cukup jelas tercium. Salah seorang
gadis satu sekolahku duduk di deretan belakang kami. Ia menggeser diri di
antara bahu kami dan berbisik,
“Kalian
berdua merpati cinta sebaiknya mulai berhenti sebelum semua orang mulai
menonton kamu dan bukan film ini!” Gadis itu betul, kami benar-benar mulai
terbawa situasi.
Secara
ogah-ogahan kami pun berhenti. Pada menit yang sama Cintya menarik jarinya
keluar dariku, kusadari bahwa aku benar-benar menginginkannya kembali di
dalamku. Setelah mengatur nafas, Cintya mendekatiku dan berbisik,
“Nanti!”
“Aku
tak sabar menunggu”, bisikku balik, sedangkan hidungku menghirup aroma intim
Cintya yang membalut jariku.
Kujilat
bersih jariku dan kugenggam tangan Cintya sampai pertunjukan berakhir. Pada
saat itu aku sudah benar-benar menjadi terangsang, sisa film yang kami tonton
itu tidak ada yang kuingat barang sedikit pun.
Kembali
ke hotel, kami praktis berlari ke kamar kami, benar-benar tak sabar untuk
melanjutkan perbuatan yang terpaksa kami tinggalkan. Bergegas-gegas aku
berganti mengenakan kimono katun tidurku yang berwarna gelap dengan corak
tradisional Flores sementara Cintya menanggalkan kaos oblong dan rok pendeknya.
Baru
kusadari bahwa selama ini Cintya tidak mengenakan bra. Sementara aku bengong
menatapi dada Cintya yang betul-betul mulus dan berbentuk sempurna, Cintya
memuji keindahan corak kimono katunku dan memintaku untuk membawa oleh-oleh
seperti itu jika aku kembali dari Indonesia. Kutunjukkan sebuah cincin yang
kubeli dari toko suvenir Indonesia di dekat kedutaan sore hari itu pada Cintya.
Direbutnya cincin itu dan dia berkata,
“Hahah..
dapat!”
“Hey,
kembalikan!” Kukejar Cintya mengitari ruangan sampai akhirnya kutangkap dia di
pojokan.
Tiba-tiba
dibalikkan badannya dan di mukanya muncul raut nakal sementara tangannya
bertolak pinggang.
“Mana
cincinnya?” tanyaku.
“Entah.
Coba saja periksa sendiri”, kata Cintya sambil menunjukkan kedua telapak
tangannya yang kosong sambil tertawa-tawa kecil.
Karena
Cintya saat itu bertelanjang kecuali untuk celana dalam model bikininya, hanya
ada satu tempat untuk mencari.
“Kamu
ini benar-benar nakal”, seruku sambil menatap matanya yang bersinar-sinar
bandel, benar-benar menikmati permainan kecil kami.
Pandanganku
menyapu wajahnya yang karena berkeringat dan merona merah terlihat benar-benar
spektakuler, dengan ujung hidungnya yang runcing dan lesung pipitnya yang
molek. Lalu kuturunkan pandangan melewati lehernya yang jenjang, dan dadanya
yang naik turun.
Sedikit
gerah setelah berlarian dalam kamar hotel yang bertemperatur sejuk itu membuat
puting Cintya yang berwarna merah muda segar menegak penuh.
Kutatap
kembali wajahnya sementara kutautkan jariku ke bagian atas celana dalamnya,
menarik tali elastis di situ sampai nampak rambut-rambut lembut lurus
kecoklatan berjarang-jarang di bawah pusar Cintya.
“Di
bawah situ, mungkin?” tanyaku.
“silakan
mancing ikan.” Cintya melangkah mendekati, cukup dekat untuk membuat dada kami
bergesekan.
Perlahan
kugerakkan tanganku lebih jauh ke bagian bawah dari perut Cintya yang
betul-betul rata dengan sedikit lengkungan feminin dan menyelipkannya ke balik
celana dalam Cintya. Ujung-ujung jariku menyentuh rambut-rambut lembutnya dan
gelitikan lembutku membuat postur berdirinya lemas, menengadah dan mendesah.
“Apakah
ini cukup hangat?” tanyaku.
“Betul,
betul.” Dipejamkannya kedua mata dan kepalanya semakin menengadah saat
jari-jariku bergeser lebih jauh ke bawah sampai seluruh permukaan kelamin
Cintya terlindung oleh telapak tanganku.
Ia
masih cukup lembab hasil dari perbuatan kami di cinema. Cincinku yang hilang
tentu saja tersembunyi di celana dalamnya, namun aku tetap berpura-pura
mencari-cari benda tersebut.
“Dimana,
sih cincin ini?” Kunikmati reaksinya terhadap sentuhanku, kudorong
selangkangannya ke dalam telapak tanganku. “Sepertinya perlu diselidiki lebih
dalam, nih..” godaku.
“Lebih
dalam lebih baik”, Cintya menyahut sambil mengerang.
Kubiarkan
jemariku menerobos lipatan-lipatan lembutnya dan segera kurasakan sumber
kebasahannya.
“Mungkin
bersembunyi di sini”, lanjut godaanku.
Kedua
dada kami saling menekan dan mulut kami hanya terpisah jarak seinci.
Benar-benar kuingin menciumnya, dan kurasakan badanku bergetar, tak pernah
dalam hidupku aku sedekat ini dengan seorang gadis lain. Tapi kuputuskan untuk
memperlambat permainan kecil ini,
“Itu
sih terlalu mudah”, kata Cintya.
“Perlu
cari tempat persembunyian yang lebih bagus, nih.”
“Contohnya
dimana?” kataku sambil menyengir lebar.
“Kira-kira
berapa panjang lidahmu?” tanyanya. Kuleletkan lidahku.
“Kira-kira
sejauh itu dalam memek saya”, katanya dan kami berdua tertawa keras.
“Cintya,
kamu ini benar-benar mesum. Kamu bakal menjadikan kita berdua sepasang lesbian
lipstik!” Secara lembut diremasnya bagian dada kimonoku, dan dibisikannya,
“Oh,
kau pikir itu benar-benar hal yang jelek? Akui saja Tina, kau sebetulnya
benar-benar ingin mencobanya, kan?” Bisa kurasakan kehangatan nafasnya
menghembus wajahku saat kami berdua saling bertukar pandang.
“Well..”
Ujarku malu-malu, bermain ’susah dijerat’.
“Sepertinya
sih sudah pernah kupikir hubungan lesbian mungkin satu atau dua kali.”
“Biar
bagaimanapun”, kata Cintya,
“Semua
orang tahu bahwa adalah wajar bagi cewek-cewek untuk bereksperimen satu sama
lain.
Di
samping itu, hampir semua cewek yang saya kenal melakukannya setiap waktu. Tahu
tidak?” ujarnya sambil mempelajari rautku.
“Apa?”
kataku
“Kau
benar-benar cantik. Unik. Kau punya mata yang hitam benar-benar menarik.
Apalagi kau datang dari tradisi yang cukup kekolotan. Bikin kau lebih mengundang.
mm.. apakah rata-rata cewek Indonesia payudaranya langsing seperti ini?”
“Uh,
iya”, kataku, tak sadar kulonggarkan tali pinggang kimonoku, mengakibatkan
terbukanya bagian dadaku.
Perlahan
Cintya memijit kedua puting payudaraku, dan kurasakan memanasnya di bagian
antara kedua pahaku.
“Toh
lagi pula kita berdua perempuan, jadi nggak mungkin hamil. Sama seperti
kegiatan menggesek memek sendiri..” lanjut Cintya.
Cintya
memperkeras pijitannya, dan napasku mengencang, kuhirup udara dengan
tersendat-sendat, sementara untuk berdiri tegak aku mulai tak mampu.
“Oh,
kalau masturbasi, sih, aku benar-benar suka”, kataku.
“Bagus,
sebab dengan cewek lain, masturbasi jadi jauuh lebih menarik dibanding
sendirian.” Disambarnya ikat pinggang kimonoku yang sudah memang longgar,
menjadikan seluruh tubuhku terekspos.
Dengan
penuh gairah dirangkulnya pinggangku sementara kakiku menggeser, menyentuh
langsung selangkangan Cintya yang lembab. Tangan Cintya mulai melingkar,
menjelajahi bagian belakangku.
Diiringi
senyum nakalnya, Cintya menarik bagian belakang celana dalamku, membuat bagian
selangkangan celana dalamku menjadi tertarik lebih ke dalam. Tekanan yang
dirasakan oleh klitorisku yang mulai membengkak hampir membuatku orgasme di
tempat, sementara kurasakan kedua badan kami seolah meleleh, bercampur satu
sama lain.
Tak
lama kemudian Cintya memasukkan lidahnya ke dalam mulutku, dan kulumat dengan
erat lidah kekasihku yang baru ini.
“Masih
ingin main sembunyi cincin?” tanya Cintya menggoda.
“*****
the ring!” (Persetan dengan cincin itu!) semburku sementara tanganku kembali
menyelinap ke dalam celana dalamnya.
“I’d
rather you ***** me instead”, sahut Cintya, suaranya menyerak seksi, nafasnya
panas di telingaku.
“Lalu
tunggu apa lagi?” kataku sembari meraih tangannya.
Kami
pindah ke sebelah ranjang dan menanggalkan apa yang tersisa di badan kami
(kecuali celana dalamku). Cintya benar-benar terangsang, cairan-cairan
kelembaban mulai menetes dan bergulir di pahanya.
Seluruh
tubuhku mulai bergetar penuh antisipasi, terlebih saat kubayangkan betapa
lezatnya jika kuletakkan kepalaku di antara kedua pahanya. Cintya naik ke atas
ranjang dan menyandarkan diri ke dinding. Lalu dengan kedua jarinya
dipisahkannya kedua bibir memeknya, dan dengan penuh nafsu kusaksikan jarinya
yang lain menerobos masuk.
Setelah
mengaduk-ngaduk beberapa saat jari lentiknya benar-benar basah, dan Cintya
mengeluarkan jarinya, mengacungkannya di depan mukaku, membuat isyarat
‘mendekatlah’.
“Ayo,
kita bersenang-senang malam ini”, undang Cintya seraya mengangkat kaki kirinya
ke dekat wajahku dan memain-mainkan jemari kakinya yang mungil.
Ketika
kutanggalkan celana dalamku, kusadari bahwa bagian selangkangan celana dalamku
ternyata sudah kuyup. Tadinya hendak kulempar begitu saja celana dalamku itu,
namun Cintya berseru,
“Tunggu
Tina, kesinikan kau punya celana dalam itu!” Kulemparkan celana dalamku, dan
segera setelah menyambutnya Cintya mendekatkan celana dalam itu ke hidung
mancungnya sembari menghirup dalam-dalam aroma sekresi kewanitaanku.
“Oooh,
bau kamu betul-betul sedap!”
“Memangnya
sudah kebiasaanmu, yah, menciumi celana dalam milik cewek lain?” tanyaku seraya
tersenyum lebar.
“Oh,
cuma mereka-mereka yang bakal saya entot”, katanya sambil mengedipkan sebelah
mata.
Cintya
mengusap-usapkan bagian selangkangan celana dalamku yang basah kuyup ke hidung
dan mulutnya sementara matanya mengawasiku, yang mulai mengecupi jari-jari
kakinya. Kususupkan lidahku di antara setiap jari, kukulum, dan Cintya mulai
tertawa-tawa geli campur nafsu.
Lalu
mulailah kutelusuri kakinya yang panjang dengan bibirku, dan berhenti ketika
aku sampai di bagian dalam pahanya. Kujilat, kukecup, dan kugigit lembut
kulitnya yang putih mulus.
Ya
ampun, Cintya betul-betul lembut! Kuciumkan kecupan-kecupan kecil mengitari
kelaminnya, dan dengan susah payah kutekan keinginanku untuk langsung menyelami
kelamin Cintya dengan mulutku.
Dalam
pikiranku, Cintya adalah perempuan pertama dalam hidupku yang kujilat
kemaluannya, maka ada baiknya kupastikan bahwa kami berdua benar-benar
terangsang dulu sebelum kukubur mukaku di selangkangannya. Aku bergerak
mendekati mulutnya.
“Aku
benar-benar butuh kamu”, kataku.
Cintya
melingkarkan tangannya dan kami pun French kissed. Lalu Cintya perlahan
mengangkatku, memposisikan kedua susuku di depan wajahnya. Dikulumnya salah
satu puting susuku di antara kedua bibirnya dan mulutnya yang hangat menyedoti
putingku, mengirimkan gelombang-gelombang kenikmatan ke seluruh tubuhku.
“Saya
punya ide”, katanya sambil terus menjilati.
“Bagaimana
kalau kita bolos saja dan tidak usah ikut tur besok? Kita bisa mengunci diri di
kamar ini dan berasyik-asyikan seharian penuh.” Untuk membujukku, Cintya
menyelipkan tangannya di antara pahaku dan mulai mengusap-usap celahku.
Kusongsongkan
pinggulku menyambut dua jari Cintya ke dalamku. Ia melanjutkan menghisap
payudaraku sekaligus jarinya menjalari vulvaku, sedangkan aku hanya
mendesah-desah mendorong-dorongkan kemaluanku menyongsong tangannya.
Kupejamkan
mata dan kurasakan cairan kental kewanitaanku menyemprot keluar saat
ujung-ujung jari Cintya menjepit klitorisku. Orgasme yang kurasakan betul-betul
intens, sumpah mati saat itu aku menyaksikan bintang-bintang.
“Kalau
kita tinggal di ranjang sepanjang hari”, ujarku setelah pada akhirnya berhasil
mengatur napas kembali,
“Kapan
kita makan?”
“Kalau
kamu lapar, kamu bisa lahap memek saya saja.” jawab Cintya,
“Ah,
kamu ini memang benar-benar nakal!” seruku dan kami berdua pun tertawa-tawa.
Kemudian
aku pun kembali menciumi tubuhnya, menelusur kembali ke bagian bawah. Harum
keringatnya membalut badannya, dan aku benar-benar menikmati rasa keasin-asinan
leher dan celah dadanya. Puting payudaranya yang merah segar berbeda dengan
milikku yang berwarna coklat, dan saat kusedot kedua pentilnya, warna mereka
berubah menjadi gelap dan mengeras.
Puting
dada Cintya terlihat persis seperti karet penghapus merah di ujung sebuah
pensil, dan tampak kecil dibanding ukuran dadanya yang paling tidak 36C. Pentilku
sendiri kira-kira sebesar uang 25 logam, dan menurutku pas untuk ukuran 32B-ku.
Kurasakan
kedua ujung dadaku mulai menegak karena bersentuhan dengan perut lembut temanku
ini. Cintya merangkapkan kakinya mengitari pinggangku, dan menyodor-nyodorkan selangkangannya,
klitorisnya berusaha mendapatkan sebanyak mungkin gesekan.
“Ya
ampun. Tina, kamu betul-betul membuat saya senewen”, kata Cintya
terengah-engah.
Cintya
mencoba menurunkan tangannya untuk mengelus-elus kelentitnya sendiri, tapi
segera kucegah.
“Sabar”,
kataku.
“Yang
satu itu akan kutangani sebentar lagi.”
“Saya
benar-benar perlu kau ewe sekarang”, mohonnya.
“Jangan
terlalu terburu-buru”, balasku seraya menyembulkan lidahku ke dalam pusar
Cintya, dan meninggalkan kecupan-kecupan basah menuruni perutnya.
Cintya
mengangkat pantatnya mencoba membimbing mulutku ke arah gerbang perempuannya.
“Eat
me, please!” jeritnya tak sabar.
Kurebahkan
diri di antara kedua paha Cintya, kugunakan tanganku untuk membuka lebar
labianya. Kugunakan hidungku untuk membelah lipatan kelaminnya dan menghirup
dalam-dalam. Keharuman kelamin Cintya menyengat inderaku.
Aromanya
jauh lebih terasa dibandingkan dengan bau cairanku sendiri. Bibir dalam dari
kemaluan Cintya yang berwarna merah muda menyelinap keluar, dan sekresi
kewanitaannya menjadikan bibir tersebut benar-benar kontras dengan bibir luar
kemaluannya yang berwarna merah gelap.
Lalu
perlahan kutarik kulit pelindung kelentitnya, menjadikan klitorisnya yang
bengkak mencuat keluar, dan kucolek dengan menggunakan jari telunjuk.
“Kau
ini benar-benar centil tukang goda. Saya benci, deh”, rintih Cintya.
“Pembohong”,
sahutku.
Kelentitnya
betul-betul keras dan tegang, dan berdetak kencang saat kusentuh. Kutiup
tonjolan ini, dan pinggul Cintya terangkat, menyambut mulutku. Ia benar-benar
basah, dan kuusapkan seluruh wajahku di sekujur kelaminnya. Pipi, hidung dan
mulutku berlumuran cairan hangatnya.
“Tina,
please”, minta Cintya, jemari tangannya menelusuri rambut kepalaku.
“Memek
saya butuh sekali.” Akhirnya kuputuskan untuk memenuhi.
Menarik
napas panjang, kupejamkan kedua mataku. Lidahku menelusur sepanjang garis celah
kelamin Cintya. Bibir-bibir lembut Cintya membuka dan kukecup tempat paling
rahasia di dunia, surga kecil di belahan paha seorang gadis.
Kucicipi
sari memek Cintya, dan rasanya ternyata lebih manis lagi daripada aromanya.
Kurenggangkan pahanya lebar-lebar dan kucelupkan lidahku ke dalam lubang kecil
merah muda yang hangat dan lembab milik temanku.
Dinding-dinding
manis kemaluannya bergerak-gerak membuka dan menutup, menjerat lidahku
erat-erat. Aku menyedot dan menjilat bagaikan hidup matiku bergantung kepadanya,
memberikan Cintya orgasme terhebat yang pernah dia alami. Mengunyah kelamin
Cintya adalah mungkin hal paling erotis
Aku
benar-benar tersapu oleh kenikmatan terlarang dari berhubungan intim dengan
seorang gadis dan saat itu kuputuskan bahwa seks dengan lelaki jatuh ke nomor
tiga dalam urutan orgasmeku, setelah memakan memek dan masturbasi. Cintya sudah
hampir sampai di puncak ketika kuperintahkan,
“Berbaliklah,
aku ingin jilat pantatmu.” Cintya segera menurut dan tak lama kemudan aku
menyaksikan kelaminnya yang indah dari belakang, seluruh bagian kemaluannya
merebak, dan sari-sarinya menetes berjatuhan.
Seperti
seekor anjing, kuendus-endus Cintya dari belakang. Kukecup gundukan-gundukan
padat milik temanku, lalu kulebarkan keduanya, dan kujilat pertengahannya dari
atas ke bawah. Campuran dari keringatnya yang keasinan, sirup liang surganya
yang manis, dan rasa keasaman dari anusnya adalah rangsangan yang tak ada
duanya.
Kuselipkan
kembali lidahku ke dalam kemaluannya, dan kumasukkan ujung hidungku ke celah
pantatnya yang terlihat berkerut. Menjilat habis Cintya memberikanku dorongan
yang kuat, namun juga terasa sungguh lembut dan manis, sungguh feminin.
Susah
kubayangkan sesuatu yang lebih indah dari dua wanita saling bercinta. Saat itu
kutemukan rahasia cinta-wanita dan aku pun ketagihan, rasanya ingin merangkak
ke dalam celah milik kawanku ini dan tinggal di situ selamanya.
Sementara
kulumat dengan ganasnya, kumasukkan jari tengahku ke dalam memekku sendiri.
Lalu dengan mulut penuh menampung air liurku dan cairan sekresinya kubasahi
anus Cintya. Perlahan jari tengahku yang basah terbalut pelumasku sendiri
kudorong melalui kerutan lubang pantatnya yang mungil.
Cintya
terasa benar-benar hangat dan lembut di dalam dan aku bisa merasakan
otot-ototnya berkontraksi untuk menahan jariku di situ. Kudengar partnerku
mengerang-erang dalam bahasa Spanyol yang walaupun tak kumengerti namun
ekspresi universal seorang gadis di ambang orgasme bisa kupahami. Cintya
menutupi mukanya dengan sebuah bantal dan tak bisa berhenti merintihkan
jeritan-jeritan kenikmatan.
“aah,
Dios Mio!” serunya ketika jari-jariku yang lain bergulir di klitorisnya.
Dielus,
dijepit, dan diperah seperti itu membuat kelentit Cintya menjadi betul-betul
sensitif. Mengetahui bahwa kami berdua benar-benar dekat dengan puncak, Cintya
dengan cepat melempar bantal yang menutupi mukanya, dan mengerang,
“Seb..
sebentar.” Kuhentikan gerakanku dan didorongnya tubuhku, menjadikanku telentang
di ranjang dengan kedua kakiku terkangkang lebar.
Dengan
gerakan cepat tangan kiri Cintya meraih pergelangan kaki kiriku dan mengangkat,
meletakkan kakiku di pundaknya sementara dengan tangan kanannya mendorong lutut
kananku, melebarkan labiaku. Memposisikan bagian bawah dari tubuh langsingnya
di antara kedua pahaku, Cintya berkata,
“Itilku
dan itilmu.” Dengan dua jari kutarik ke atas kulit depan klitorisku sementara
Cintya melakukan hal yang sama dengan klitorisnya sendiri, lalu Cintya pun
bergeser sehingga kedua kemaluan kami bertemu.
Perasaanku
saat itu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Melalui kerimbunan hitam rambut
kelaminku kulihat coklat lembut rambut kelamin Cintya sementara dadanya yang
putih mulus dan memerah karena gairah terlihat kontras bergesekan dengan
betisku yang kuning langsat.
Kedua
memek kami, dengan labia yang basah saling menghempas, saling menjalin, dan
saling melelehi menjadi satu. Cintya bergerak memutar-mutar selangkangannya dan
kedua kelentit kami yang mencuatpun saling bergesekan.
“aah,
ahh, yess.. yess”, kupejamkan mata dan perlahan kuremas-remas dadaku dengan
tanganku yang bebas.
“Oooh,
ngh.. aakh”, kurasakan cengkeraman tangan Cintya meninggalkan pergelangan
kakiku saat ia menengadah dan tubuhnya mulai terkejang-kejang.
Kurasakan
bagian bawah tubuhku bergerak-gerak seperti kehilangan kontrol, maju mundur
naik turun bagaikan piston.
“Ooohhhh..
yeeeee.. eessh..!” seru kami bersamaan saat kedua kelentit kami saling
bergesekan dengan kencangnya.
Tubuhku
menggelinjang hebat, Cintya mengejang dan terasa waktu pun menghilang saat
secara bersamaan memek kami menyemburkan cairan kental orgasme. Sekali, 2 kali,
dan tiga kali gelombang orgasme menghempas Cintya, dan bahkan saat terbaring
lunglai di sisiku pun tubuh seksinya masih bergemetar.
Kulingkarkan
lenganku di bahunya, dan kurangkul kekasih baruku erat-erat. Kukecup pipinya
lembut. Cintya membuka matanya, menyambar bibirku dan melumat mulutku. “Idih,
kau berasa seperti memek”, katanya.
“Ayo
kita melarikan diri saja, dan bercinta selamanya”, kusuarakan angan-angan di
benakku.
“Kedengarannya
nikmat”, balas Cintya.
Kami
kembali berciuman dan kurasakan tangan Cintya kembali meraba-raba rimbunan
hitamku yang sekarang benar-benar basah kuyup tersiram sekresi kami berdua.
Kubiarkan diriku pasif terbaring di pelukan Cintya cukup lama sementara dia
bermain dengan bagian bawahku.
Belaian-belaiannya
lembut seolah ia menghapal seluruh tonjolan dan lipatan-lipatan memekku. Lalu
Cintya menelentangkan diri.
“Ayo
kita ngentot lagi”, katanya sembari menggoyang-goyangkan tubuh mengatur posisi.
“Ayo
duduk di muka saya”, perintahnya.
Aku
pun berlutut, menunggangi kepalanya, dan mulai menurunkan kemaluanku ke wajah
cantik Cintya. Cintya memiliki lidah yang betul-betul panjang dan aku pun mulah
mendesah dan mengerang ketika ia melesakkan lidahnya ke dalamku senti demi
senti.
Urat-urat
dalam memekku otomatis mencengkram erat lidah Cintya sementara pinggulku
bergerak melingkar dengan perlahan, benar-benar larut dalam ulasan lidah
Cintya. Mulutku terasa kering dan aku pun merasa betul-betul perlu melahap
memeknya lagi.
Kuputar
posisiku, kurendahkan kepalaku dan kami bercinta dalam posisi enam sembilan.
Kembali kulimpahkan segala perhatianku ke kelamin partnerku, menyibakkan
labianya yang hangat, dan ketika kukecap pelumas Cintya yang mulai mengucur
kembali, kurasakan jarinya yang giliran menjelajahi pantatku.
Nafasku
kembali terengah-engah sementara lidah Cintya membelai-belai jauh ke dalam
rahimku dan jarinya menjelajahi bagian belakangku.
“Uuuh
.. uungh .. unghh” seruku tertahan-tahan sebab mulut dan hidungku terselimut ke
perempuanan Cintya sementara dia pun mengeluarkan suara-suara yang serupa.
“Ah!
Aah! aah! Lagi..” otot-otot memekku menggeletar saat Cintya menggigit lembut
klitorisku.
“Auh!”
“Yaah!”
kurasakan geliginya mengitari kacangku.
“Oooh..
yeessh.. ssh..” kulingkari kelentitnya dengan bibirku dan kusedot keras-keras.
“Yes..
yes.. yee.. ee.. sh!”
“Yeesshh..
mmh.. mffh..” ujung lidah kami berdua mengulas-ulas kedua kelentit dengan
gerakan sangat cepat, kurasakan seluruh urat kedua memek kami mengencang dan
mengendur di luar kontrol dan kami pun kembali tenggelam, orgasme membanjir
keluar.
Setelah
kembali mengatur nafas, kulepaskan diriku dan kuhempaskan diriku di samping
Cintya supaya kami bisa saling bertatapan wajah. Dengan lengan dan kaki kami
saling merangkum, kami bersentuhan berciuman lembut, betul-betul kehabisan
tenaga dan kecapaian.
“Mudah-mudahan
besok saya bangun sebelum kau bangun”, katanya setengah bermimpi.
“Memangnya
ada apa?” seraya menyibakkan rambutnya ke samping, mengecupi pipi, hidung, dan
kelopak matanya yang terpejam. “Sebab, hal pertama yang saya ingin kamu lihat
besok pagi adalah wajah saya tersenyum di antara kedua pahamu”, jelasnya.
“Oh,
rasanya sekarang ini saya sudah jatuh cinta”, kataku lembut.
“Sini,
saya jaga biar tetap hangat”, katanya sambil merangkum kemaluanku ke dalam
telapak tangannya yang memang hangat.
Kukecup
kembali bibirnya, dan sementara kami berdua berpelukan erat, kunikmati
kehangatan lembab semak-semaknya yang bersandar ke pahaku.
Setelah
selama beberapa lama hanya desiran mesin pendingin udara yang terdengar,
melalui dinding terdengar suara-suara dua orang gadis dari kamar sebelah. Tak
mungkin tidak, mereka sedang bercinta.
“Kan,
sudah saya bilang. Semua cewek berbuat hal yang sama”, kata Cintya sambil
tersenyum lebar.
“Mungkin
besok kita perlu mengunjungi tetangga sebelah dan mengundang mereka untuk
mampir”, sahutku setengah tertidur.
“Tapi
itu artinya saya harus membagi kau dengan mereka”, kata Cintya.
“Betul”,
gumamku setengah bermimpi,
“Tapi
ingatlah bahwa itu juga artinya kamu bakal punya tiga buah memek yang lembek
dan basah untuk dilahap ditambah tiga mulut hangat untuk melayanimu.”
“mm”,
katanya sembari membasahi bibir.
“Betul
juga. Mari kita beramah-tamah dengan mereka besok.” Kami kembali berciuman
lembut, dan tak lama kudengar desahan-desahan indah dari kedua gadis sebelah
kamar hotel kami.
Akhirnya,
gadis pertama menjeritkan puncak kenikmatannya, diikuti segera dengan jeritan
orgasme temannya. Aku tersenyum sendiri, dan sebelum kami berdua jatuh
tertidur, kubalas merangkum kewanitaan Cintya dengan telapak tanganku,
menyongsong alam impian.
Kejadian
malem itu persis seperti keinginan Aku, batin jadi lega banget.. Tertatih-tatih
Aku menapak tangga ke atas, begitu baring di ranjang, di samping bini Aku,
..seketika itu jg langsung pulas tertidur
