Untuk memenuhi kebutuhanku agar tdk terlalu mengandalkan
uang kiriman dari ortu, aku memutuskan untuk kuliah sambil bekerja di salah
satu club billiard yg cukup besar dan eksklusif di kota Bandung. Aku bekerja
menjadi salah seorang penjaga meja, sekaligus merangkap pramusaji di club
tersebut, kadang kadang aku merasa sangat lelah dan letih, apalagi jika aku
harus terpaksa pulang larut malam dari tempat kerja. Tapi tdk apalah, yg
penting aku bisa mempunyai cukup uang dan dapat memenuhi kebutuhanku sendiri
tanpa harus mengandalkan kiriman uang dari orang tuaku, lagipula aku sudah
bertekad untuk belajar hidup mandiri.
Singkat cerita, waktu itu aku sedang bingung sekali, karena
hari itu hari terakhir waktu pembayaran uang semester, padahal kiriman dari
ortu belum juga masuk ke rekeningku, dan saat gajianku masih seminggu lagi,
sementara uang tabunganku sudah habis untuk keperluan dan biaya hidupku
sehari-hari hingga sore itu aku benar benar pusing memikirkannya.
Akhirnya, aku beranikan diri untuk meminjam uang ke club
bilyard tempat aku bekerja, tapi perusahaan tdk dapat mengabulkan permohonanku
dengan alasan saat itu tdk ada dana yg tersedia karena seluruh uang yg ada
sudah disetorkan ke pemiliknya.
Malam itu, dengan perasaan bingung
dan sedih, aku berkemas untuk pulang kembali ke kosku. Saat itu jam kerjaku
memang telah selesai. Aku berjalan lunglai dari ruangan karyawan, bingung
memikirkan nasibku besok, saat kulihat Dona sudah menungguku di ruang tunggu
“Gimana Han? Dapat pinjaman uangnya?” tanya Dona.
“Nggak bisa Don.. gpp deh, besok gw minta keringanan aja
dari kampus” ujarku dengan nada lemas.
“Elu sendiri, dari mana.? Tumben mampir ke sini?” tambahku
sambil melihat ke arah jam tanganku, saat itu sudah hampir jam sepuluh malam,
tdk biasanya Dona berani keluar malam-malam, pikirku heran.
“Gw abis dari mall di depan, ngecek ATM, siapa tahu kiriman
gw udah sampai, buat nalangin bayaran elu, tapi ternyata belum sampai..” ujar
Dona dengan nada menyesal.
“Thanks banget untuk usaha lu Don.” ujarku sambil
mengajaknya pulang.
Kami berdua berjalan melewati ruangan billiard. Saat itu di
sana masih ada empat orang tamu yg sedang bermain ditemani oleh manajerku,
mereka adalah teman-teman dari pemilik club tersebut, jadi walaupun club
tersebut sudah tutup, mereka tetap dapat bebas bermain. Aku sempat berpamitan
dengan mereka sebelum aku kembali berjalan menuju pintu keluar saat tiba-tiba
salah seorang dari mereka memanggilku..
“Han.., Temenin kita main dong..!” serunya.
“Kita taruhan. Berani nggak?” tambah temannya sambil
melambaikan tangannya ke arahku.
Aku tertegun sejenak sambil menatap bengong ke arah mereka.
Rupanya mereka sedang berjudi, dan mereka mengajakku untuk bergabung. Wah,
boleh juga nih. Siapa tahu menang.., pikirku.
“Taruhannya apa? Saya lagi tdk bawa uang banyak..!” seruku,
sementara kulihat Pak Candra manajerku, berjalan menghampiriku.
“Gampang.., kalau kamu bisa menang, satu game kami bayar
lima ratus ribu, tapi kalau kamu kalah, nggak perlu bayar, kamu cuma harus buka
baju aja, kita main sepuluh game.. Setuju?” seru salah seorang dari mereka.
Aku terkesiap mendengar tantangannya, kulirik Dona yg saat
itu sudah berada di depan pintu keluar, dia tampak menggelengkan kepalanya,
sambil memberi tanda kepadaku, agar aku cepat-cepat meninggalkan club tersebut.
“Brengsek! Nggak mau..!” ujarku sambil membalikkan tubuhku.
Bisa-bisa aku telanjang kalau dalam sepuluh game itu aku
kalah terus, pikirku dengan sebal. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti saat
tangan manajerku menahan pundakku.
“Terima aja Han, kamu kan lagi butuh uang, lagipula mereka
nggak begitu jago kok..!” ujar manajerku berusaha membujuk.
“Tapi Pak..!” jawabku dengan nada bingung, sebenarnya aku
mulai tertarik untuk memenuhi tantangan mereka, dengan harapan aku bisa
memenangkan seluruh game, lagipula aku benar benar membutuhkan uang tersebut.
“Sudahlah.! Kalau kamu bersedia nanti saya kasih tambahan
uang, lagipula nggak enak menolak tamu-tamu bos..” ujarnya sambil terus
membujukku.
“Oke.. Tapi kalau saya kalah terus gimana?” tanyaku kepada
mereka.
“Tenang aja, kamu hanya lepas baju aja kok! Kami janji nggak
akan berbuat macam macam..!” seru orang yg berada paling dekat denganku.
“Baik.. Tapi janji.. Tdk akan macam macam!” jawabku
memastikan perkataan mereka, sementara Dona langsung berjalan menghampiriku.
“Lu udah gila apa Han..! Gw ngga setuju!” serunya dengan
nada marah.
“Tenang aja Don, elu duduk aja di sana, nungguin gw..! Oke?”
ujarku sambil menunjuk ke arah sofa yg berada di pojok ruangan.
“Tapi Han?” ujar Dona dengan wajah ketakutan.
“Udah, nggak apa-apa, elu nggak perlu takut..” sanggahku
sambil tersenyum menenangkan hatinya, akhirnya Dona pun berjalan dan duduk di
sofa tersebut.
dah lima game berjalan, aku menang dua kali dan kalah tiga
kali, membuat aku harus menanggalkan jaket, blouse dan celana panjang yg
kukenakan hingga saat itu hanya tersisa bra dan celana dalam saja yg masih
melekat di tubuhku. Jangan sampai kalah lagi, ujarku dalam hati, dua kali lagi
aku kalah, maka aku akan benar-benar bugil. Pikiranku mulai panik, sementara di
pojok ruangan, Dona sudah tampak mulai resah melihat keadaanku.
Tapi naas. Udara dingin dari AC di ruangan tersebut membuat
aku sulit untuk berkonsentrasi sehingga aku kembali kalah pada game keenam,
membuat mereka langsung bersorak riuh, memintaku untuk segera menanggalkan bra
yg kukenakan. Aku sudah hampir menangis saat itu, tapi mereka terus memaksaku,
maka dengan perasaan berat dan malu, akhirnya kulepaskan juga bra yg melekat di
tubuhku, membuat buah dadaku langsung mencuat dan terbuka di hadapan mata
mereka yg tampak melotot saat memandang tubuh telanjangku.
“Sudah.. Sudah, kita berhenti saja, saya menyerah!” seruku
memelas sambil berusaha menutupi tubuh bagian atasku, saat itu aku sudah merasa
sangat malu dan tdk lagi berminat untuk meneruskan taruhan itu.
“Nggak bisa..! Perjanjiannya kan sampai kamu telanjang, baru
permainannya selesai..!” protes lawan mainku, akhirnya aku hanya bisa menuruti
kemauannya.
“Buka.. Buka..!” sorak mereka saat pada game berikutnya aku
kembali kalah dan harus melepas celana dalamku.
udah.. Kita batalkan saja taruhannya..!” jeritku sambil
meraih pakaianku dan berlari menjauhi mereka, tapi salah seorang dari mereka
dengan sigap menubrukku dari belakang, membuatku terhempas di atas meja
billiard dengan posisi menelungkup dan laki-laki itu menindihku dari atas.
“Lepaskan..!” teriakku kaget sambil meronta dengan sekuat
tenaga, tapi laki laki itu terus menindihku dengan kuat, membuat aku benar
benar tdk bisa bergerak sama sekali, akhirnya aku terkulai lemah tak berdaya
sambil terus menangis.
“Pak Candra..! Tolong saya Pak..!” jeritku sambil menyapukan
pandangan mencari manajerku.
Betapa terkejutnya aku saat kulihat Pak Candra sedang
mendekap tubuh Dona sambil tangannya berusaha melucuti pakaian yg melekat di
tubuhnya dibantu oleh tiga orang temannya. Bersamaan dengan itu kurasakan
sesuatu mendesak masukke dalam liang kemaluanku. Rupanya saat itu laki-laki yg
berada di atas tubuhku, sudah akan memperkosaku. Dia menyelipkan batang dari
sela-sela celana dalam yg kukenakan dan terus menekannya dengan keras, membuat
batang kemaluannya makin terhunjam masuk melewati bibir.
“Jangan.. Ouh..!!” jeritku sambil berusaha menahan pahanya
dengan kedua tanganku, tapi batang kemaluannya terus melesak masuk, sehingga
akhirnya benar-benar terbenam seluruhnya di dalam liang.
“Jangan keluar di dalam, Pak..!” gumamku pelan sambil
menahan tubuhku yg berguncang saat laki-laki itu mulai memompaku.
“Oke.. Uh.. Ssh.. Kamu cantik Hani..!” ceracau laki laki itu
saat mulai bergerak di dalam tubuhku.
“Ouh.. Hh..!” desahku lirih.
Aku memejamkan mataku, merasakan getaran yg mulai menjalari
seluruh tubuhku, saat pemerkosaku menghentakkan tubuhnya dengan makin cepat,
membuat aku mulai terangsang saat itu, dan tanpa sadar aku pun ikut
menggerakkan pinggulku, berusaha mengimbangi gerakannya.
Aku memang sudah sering melakukan hubungan badan dengan
pacarku sejak aku masih duduk di bangku SMU, malah kegadisanku telah terenggut
oleh pacarku saat aku masih di kelas satu SMA, dan sejak saat itu kami rutin
melakukan aktifitas seks, sampai akhirnya aku pergi melanjutkan studi di
Bandung, dan sekarang aku kembali merasakan kenikmatan itu setelah selama satu
tahun aku tdk pernah lagi bersetubuh.
“Ouh.. Shh. Ah.” desahku sambil terus menggoyangkan pinggulku.
Sementara di pojok ruangan, kulihat Dona sedang berjuang
dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari keempat orang yg sedang
menggumulinya. Saat itu keadaan Dona benar benar sudah sangat berantakan,
kemeja lengan panjang yg di kenakannya sudah terbuka lebar dan hampir lepas
dari tubuhnya, sementara bra yg dikenakannya sudah tampak setengah terbuka
hingga membuat satu payudaranya menyembul keluar.
“Jangan.. Jangan.. Lepaskan.. Tolong..!” jeritnya keras
sambil berusaha meronta dan melawan dengan gigih saat seseorang dari mereka
mulai mengangkat rok panjang yg dikenakan oleh Dona.
“Jangan..! Toloong..!” jerit Dona makin keras sambil
menendang-nendangkan kedua belah kakinya saat mereka mulai menggeraygi tubuh
bagian bawahnya dengan buas.
“Hentikann..! Hentikan.!” teriak Dona putus asa sambil
menangis sejadi-jadinya sementara tangannya berusaha menggapai ke arah bawah,
mencoba menahan tangan-tangan yg sedang melolosi celana dalamnya, tapi
gerakannya tertahan oleh tangan Pak Candra yg saat itu terus mendekap tubuh
Dona dari belakang.
Manajerku itu terus memaksanya untuk tetap berada di dalam
pangkuannya, sambil sesekali meremas dan mempermainkan puting buah dada Dona.
Beberapa saat kemudian, dua orang dari mereka mengangkat tubuh Dona sambil
merenggangkan kedua belah kakinya, sementara Pak Candra tetap mendekap tubuh
Dona sambil mulai mengarahkan batang kemaluannya ke sela-sela bibir kemaluan
temanku itu.
Saat itu keadaan Dona sungguh sangat mengenaskan, pakaian
bagian atasnya sudah terbuka dengan lebar, sementara roknya pun telah
tersingkap sampai sebatas perutnya, dan aku dapat melihat jelas, saat tubuh
Dona tampak menggeliat hebat ketika kedua orang yg mengangkat tubuhnya itu
mulai menurunkannya dengan perlahan, membuat batang kemaluan Pak Candra melesak
masuk ke dalam liang.
“Ough..! Jangaan..!” jerit Dona parau sambil meringis
kesakitan ketika mulai dijejali oleh kemaluan Pak Candra.
Perlahan, kulihat batang kemaluan itu terus melesak masuk
sampai akhirnya lenyap dan terbenam seluruhnya di dalam liang rahim Dona, saat
itu tubuh Dona benar-benar telah menyatu dengan tubuh Pak Candra. Dan Dona
tampak mengerang kesakitan sambil menggeliatkan tubuhnya.
“Arghh.. Sakitt.., perihh, lepaskan itu dari tubuhku..!”
jerit Dona dengan nafas yg tersengal-sengal, dia masih berusaha meronta, ketika
Pak Candra mulai bergerak di dalam tubuhnya, membuat Dona makin menjerit-jerit
kesakitan, sampai akhirnya tubuhnya terkulai lemas tak sadarkan diri di dalam
dekapan Pak Candra.
Pak Candra masih terus memompa tubuh Dona yg pingsan itu
dengan kasar, begitu kasarnya hingga membuat tubuh temanku itu ikut berguncang
dengan hebat. Buah dadanya yg besar tampak menggeletar dan terlempar kesana
kemari saat tubuhnya bergerak naik turun, sementara saat itu aku pun masih
terus digarap oleh laki-laki yg sedang memperkosaku, sampai akhirnya tubuhku
menegang dengan keras.
“Ohh..!” aku mendesah keras saat telah mencapai orgasme,
seluruh sumsum di tulangku serasa ditarik keluar ketika aku benar-benar telah
mencapai puncak kenikmatan, tapi tiba-tiba aku menjadi panik luar biasa saat
kurasakan laki-laki itu berdenyut keras di dalam liang rahimku.
“Jangan.. Jangan di dalam..! Lepaskan.. Bajingan..!” jeritku
putus asa saat kurasakan cairan hangat membanjiri rongga kemaluanku. Laki-laki
itu telah menyemburkan cairan spermanya di dalam liang rahimku.
Sesaat kemudian posisinya sudah digantikan oleh temannya,
dan aku kembali diperkosa. Sementara di pojok ruangan, Dona pun masih terus
digarap oleh mereka, kulihat darah keperawanannya meleleh keluar dari sela-sela
bibir, bercampur dengan cairan sperma, saat seorang dari mereka mulai kembali
melesakkan liang Dona dengan batang.
Malam itu, Aku dan Dona menjadi piala bergilir, tubuh kami
berdua dikerjai dan diperkosa habis-habisan oleh mereka. Siksaan itu baru
berakhir saat waktu sudah menunjukkan jam empat subuh. Kulihat di depanku
tertumpuk sejumlah uang pecahan seratus ribu. Kuraih uang tersebut sambil
berusaha bangkit dan mengenakan seluruh pakaianku, setelah itu aku berjalan
mendekati tubuh Dona yg masih meringkuk di sudut ruangan. Saat itu dia sudah
siuman dari pingsannya, dia mengerang kesakitan sambil menangis meratapi
kegadisannya yg telah terenggut paksa pada malam itu. Kurangkul tubuhnya dan
membantunya berjalan pulang..
